Jakarta – Sekitar 16 organisasi mahasiswa berbondong-bondong memasuki ruang audiensi DPR RI pada Rabu (3/9/2025). Mereka datang bukan untuk sekadar berdialog, melainkan menagih komitmen nyata Dewan dalam merespons dinamika politik dan hukum yang belakangan menghangat.
Suara bulat mahasiswa menyoroti perlunya tim investigasi independen atas dugaan makar. Bagi mereka, tuduhan makar tidak boleh dibiarkan menjadi stigma. Ketua BEM UI, Agus Setiawan, menilai label makar bisa merusak legitimasi gerakan mahasiswa. “Kami bergerak untuk rakyat, bukan makar,” ujarnya.
Desakan itu bukan tanpa alasan. Aksi massa di Jakarta pada Agustus lalu menyisakan banyak cerita: penahanan aktivis, kekerasan aparat, hingga tudingan liar terhadap mahasiswa. Karena itu, mahasiswa meminta DPR memfasilitasi pembentukan tim investigasi independen yang transparan.
Selain tuntutan investigasi, isu tunjangan DPR juga mengemuka. Mahasiswa mempersoalkan moralitas politik wakil rakyat yang dianggap jauh dari realitas rakyat. Meski pimpinan DPR menyatakan tunjangan perumahan sudah dihentikan sejak 31 Agustus, mahasiswa menilai evaluasi harus dilakukan menyeluruh, bukan hanya sebagian.
BEM Trisakti menambahkan, perjuangan mahasiswa harus dijaga dari stigma negatif. “Kami bukan anarkis. Kami kaum terdidik yang memilih jalur damai,” ucap Jili Collin. GMNI, GMKI, dan Himapolindo turut memperkuat tuntutan agar DPR tidak berhenti pada permintaan maaf.
Dalam forum, pimpinan DPR menerima aspirasi mahasiswa dan berjanji akan membahasnya. Namun, mahasiswa menilai sikap itu belum cukup. Mereka menuntut komitmen tertulis dan langkah konkret, terutama soal investigasi makar dan pembahasan RUU Perampasan Aset yang masih mandek.
Audiensi ditutup dengan penegasan bahwa mahasiswa akan terus mengawal tuntutan. Tanpa tim investigasi independen, DPR dianggap gagal menunjukkan keberpihakannya pada rakyat.
