Korea Selatan sedang menghadapi salah satu krisis politik terbesar dalam sejarah modernnya. Penetapan status darurat militer dan kemudian mencabutnya oleh Presiden Yoon memicu gelombang kritik tajam dari berbagai kalangan. Langkah tersebut dianggap oleh oposisi sebagai tindakan otoriter yang membahayakan demokrasi.

“Tindakan ini seperti mencoba membungkam perlawanan politik dengan dalih stabilitas keamanan,” kata seorang analis politik, Kim Jae-ho, dari Universitas Seoul. Ia menambahkan bahwa keputusan tersebut berpotensi memicu ketegangan lebih besar di masyarakat.
Di sisi lain, kantor kepresidenan membela keputusan itu sebagai upaya menjaga ketertiban di tengah meningkatnya ancaman keamanan nasional. “Kami mengambil langkah ini untuk melindungi rakyat dan mempertahankan negara,” ujar seorang pejabat senior yang enggan disebutkan namanya.
Namun, tuduhan pengkhianatan terhadap Presiden kian mengemuka. Beberapa pihak menyebut bahwa penetapan darurat militer ini adalah strategi politik untuk mempertahankan kekuasaan di tengah merosotnya popularitas pemerintah. Oposisi telah menyerukan penyelidikan independen untuk mengungkap motif di balik kebijakan tersebut.
Demonstrasi besar-besaran telah terjadi di ibu kota, Seoul, dengan ribuan warga turun ke jalan menuntut transparansi. Sementara itu, masyarakat terbagi antara yang mendukung kebijakan tersebut demi keamanan nasional dan yang menganggapnya ancaman bagi kebebasan sipil.
Krisis ini menjadi momen penting bagi sistem politik Korea Selatan. Bagaimana langkah selanjutnya akan menentukan apakah demokrasi di negara tersebut dapat bertahan di tengah gejolak ini.