Yusril Ancam Gugat Navayo International AG ke Pengadilan Indonesia

Jakarta, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan akan menggugat perusahaan asal Eropa, Navayo International AG, ke pengadilan Indonesia terkait dugaan korupsi dalam proyek penyewaan satelit. Hal ini menyusul ancaman penyitaan aset Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Prancis akibat putusan arbitrase internasional yang memenangkan Navayo.

Dugaan Wanprestasi dalam Kontrak Satelit

Menurut audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Navayo baru menyelesaikan pekerjaan senilai Rp1,9 miliar dari total kontrak sebesar Rp306 miliar. Yusril menyatakan bahwa jika cukup bukti untuk menjerat Navayo dalam kasus dugaan korupsi, pihaknya akan meminta Interpol mengejar dan membawa perusahaan tersebut ke Indonesia guna menjalani proses hukum.

“Jika sudah cukup alasan untuk menyatakan mereka sebagai tersangka berdasarkan pemeriksaan pendahuluan, maka lebih baik dinyatakan sebagai tersangka. Kami akan meminta Interpol untuk menangkap dan membawa pihak terkait ke Indonesia,” ujar Yusril dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Pertahanan, Kamis (20/3).

Strategi Pemerintah Menghambat Penyitaan Aset

Pemerintah Indonesia tidak menolak putusan pengadilan yang mewajibkan pembayaran ganti rugi kepada Navayo. Namun, Yusril menegaskan bahwa Indonesia akan mengambil langkah hukum untuk mencegah eksekusi penyitaan aset KBRI di Prancis. Ia menilai bahwa penyitaan tersebut bertentangan dengan Konvensi Wina, yang melindungi aset diplomatik dari penyitaan secara sepihak.

“Kami ingin menghambat proses pelaksanaan eksekusi karena hal ini menyalahi Konvensi Wina yang melindungi aset diplomatik. Walaupun putusan pengadilan Prancis mengizinkan eksekusi ini, kami tetap akan melawan,” jelasnya.

Latar Belakang Kasus Navayo

Navayo International AG adalah perusahaan asal Liechtenstein yang terlibat dalam proyek pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) untuk mengisi slot orbit 123 derajat bujur timur. Proyek ini dirancang oleh Kementerian Pertahanan pada 2015-2016. Namun, karena keterbatasan anggaran, proyek tersebut terhenti dan kontrak dengan Navayo tidak terpenuhi.

Baca juga :  Pramono Anung Kunjungi Posko Pengungsian Korban Banjir di Jakarta Timur

Pada 2018, Navayo menggugat Indonesia di International Chamber of Commerce (ICC) Singapura dengan tuntutan sebesar US$23,4 juta. Pada 2021, ICC Singapura memenangkan gugatan tersebut dan memerintahkan Kementerian Pertahanan membayar US$16 juta kepada Navayo, termasuk biaya arbitrase. Jika tidak dibayar, aset Indonesia di Prancis berisiko disita sebagai bagian dari eksekusi putusan.

Langkah Pencegahan di Masa Depan

Sebagai bentuk mitigasi risiko, pemerintah akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Hukum, Nofli. Satgas ini bertugas memastikan kasus Navayo diselesaikan dengan transparan dan sesuai prinsip hukum yang berlaku.

Selain itu, Yusril mengimbau seluruh kementerian dan lembaga pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam menyusun kontrak internasional. Konsultasi dengan Kemenko Kumham Imipas dan Kementerian Hukum harus dilakukan sebelum menandatangani kontrak, guna menghindari permasalahan hukum di kemudian hari.

“Penyelesaian yang adil dan transparan menjadi prioritas utama kami dalam menghadapi kasus ini,” tutup Yusril.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *