Jakarta, Awal Ramadan 1446 Hijriah diprediksi mengalami perbedaan antara pemerintah dan Muhammadiyah. Sejumlah pakar dan lembaga terkait, termasuk Kementerian Agama (Kemenag), Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah memberikan penjelasan mengenai potensi perbedaan ini.
Prediksi Awal Ramadan Menurut BRIN
Pakar Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN, Thomas Djamaludin, memprediksi bahwa awal Ramadan 1446 H jatuh pada Minggu, 2 Maret 2025. Prediksi ini didasarkan pada posisi Bulan saat magrib pada 28 Februari 2025 di beberapa wilayah Indonesia. Misalnya, di Banda Aceh, ketinggian Bulan mencapai 4,5 derajat dengan elongasi 6,4 derajat. Sementara itu, di Surabaya, ketinggian Bulan berada di 3,7 derajat dengan elongasi 5,8 derajat.
Thomas menjelaskan bahwa posisi tersebut hanya sedikit melebihi kriteria Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), yang mensyaratkan ketinggian minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Namun, karena posisi Bulan masih cukup rendah dan dekat dengan Matahari, kemungkinan besar rukyat hilal akan sulit dilakukan.
Dukungan Data BMKG
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga memberikan analisis serupa. Menurut BMKG, ketinggian hilal di Indonesia pada 28 Februari 2025 berkisar antara 3,02 derajat di Merauke hingga 4,69 derajat di Sabang. Elongasi hilal bervariasi dari 4,78 derajat di Waris, Papua, hingga 6,4 derajat di Banda Aceh. BMKG menambahkan bahwa objek astronomis seperti planet Venus, Merkurius, dan bintang terang seperti Sirius bisa mengganggu pengamatan hilal.
Pandangan MUI tentang Perbedaan Awal Ramadan
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah, Cholil Nafis, juga menegaskan bahwa awal Ramadan 2025 berpotensi berbeda antara pemerintah dan Muhammadiyah. Namun, ia optimistis bahwa Hari Raya Idulfitri 1446 H akan dirayakan secara bersamaan oleh umat Islam di Indonesia.
Cholil menjelaskan bahwa kriteria imkanur rukyat (kemungkinan terlihatnya hilal) berdasarkan standar MABIMS hanya bisa terpenuhi di Aceh. Sementara itu, di Jawa Timur dan wilayah Indonesia bagian timur, hilal masih sulit terlihat. Menurutnya, pada 28 Februari, tinggi hilal di Jakarta mencapai 4 derajat dengan elongasi 6,02 derajat, sedangkan di Jawa Timur tinggi hilal 3 derajat dengan elongasi 5,9 derajat, yang belum memenuhi standar MABIMS.
Pernyataan Menteri Agama
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa semua orang dapat memprediksi awal Ramadan, tetapi keputusan final tetap berada di tangan pemerintah melalui sidang isbat. Ia menyatakan bahwa jika ada pihak yang berhasil melihat hilal, maka tidak ada alasan untuk menunda awal puasa.
“Ya, semua orang bisa memprediksi. Tapi kalau ada yang menyaksikan bulan, kenapa harus ditunda? Kalau tidak terlihat, baru kita diskusi,” ujar Nasaruddin di Jakarta, Kamis (27/2). Ia juga mengajak seluruh pihak untuk menunggu hasil sidang isbat yang akan digelar oleh Kementerian Agama pada Jumat (28/2).
Muhammadiyah Tetapkan Awal Ramadan Lebih Awal
Sementara itu, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah lebih dahulu menetapkan awal Ramadan pada Sabtu, 1 Maret 2025, berdasarkan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal. Metode ini memastikan bahwa hilal sudah berada di atas ufuk, tanpa mempertimbangkan kemungkinan rukyat (pengamatan visual).
Kesimpulan
Perbedaan dalam menentukan awal Ramadan bukanlah hal baru di Indonesia. Dengan berbagai metode hisab dan rukyat yang digunakan, perbedaan ini dapat terjadi. Pemerintah melalui Kemenag akan tetap menggelar sidang isbat untuk memastikan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak. Umat Islam di Indonesia diharapkan tetap menghormati perbedaan ini dan menjadikan bulan Ramadan sebagai momentum mempererat persaudaraan serta meningkatkan ketakwaan.