Jakarta — Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali memicu perdebatan tajam di ruang publik. Usulan tersebut diajukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan kini tengah dikaji oleh Tim Peneliti, Pengkaji, dan Penetapan Gelar Pahlawan Nasional (TP2GP) di bawah Kementerian Sosial (Kemensos).
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menilai, semua mantan presiden layak mendapatkan penghargaan negara atas jasa-jasanya dalam membangun bangsa. Ia menegaskan bahwa penilaian terhadap figur seperti Soeharto sebaiknya dilihat secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi kekurangannya.
“Jangan hanya menyoroti kelemahannya, kita juga harus melihat kontribusi besarnya terhadap pembangunan nasional,” ujar Prasetyo dikutip dari CNA Indonesia, Jumat (24/10/2025).
Pernyataan itu menjadi sinyal terbuka bahwa pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk menganugerahkan gelar kehormatan kepada Soeharto, jika seluruh syarat administratif dan historis terpenuhi.
Dukungan untuk Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
Dukungan terhadap wacana ini datang dari berbagai pihak, termasuk keluarga Cendana. Putri Soeharto, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, menyambut positif langkah tersebut. Ia menilai ayahnya memiliki jasa besar dalam bidang pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional.
“Bagi kami, beliau sudah pahlawan bahkan tanpa gelar resmi. Tapi kalau negara ingin mengakui, tentu kami bersyukur,” kata Titiek Soeharto dalam wawancara dengan CNA Indonesia.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) juga mendukung pengusulan itu. Menurutnya, Soeharto memiliki kontribusi nyata terhadap kemajuan infrastruktur dan ketahanan pangan nasional.
“Pak Harto jelas berjasa membangun Indonesia. Kalau pengusulan ini sudah melalui kajian, seharusnya layak dipertimbangkan,” ujar Hidayat dikutip dari Detik.com.
Ia menambahkan, penghargaan tersebut tidak berarti menghapus catatan sejarah, tetapi menempatkan jasa tokoh bangsa dalam konteks pembangunan yang utuh.
Gelombang Penolakan dari Aktivis dan Korban HAM
Namun, tidak semua pihak sepakat. Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan kelompok korban pelanggaran HAM menilai pengusulan Soeharto sebagai pahlawan merupakan langkah yang tidak tepat.
Amnesty International Indonesia menilai, pemberian gelar tersebut dapat mencederai semangat reformasi dan melukai perasaan para korban pelanggaran HAM masa Orde Baru.
“Usulan ini berpotensi memutarbalikkan sejarah dan menghapus tanggung jawab moral negara,” tegas Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Sikap serupa disampaikan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Dalam pernyataannya, KontraS menilai bahwa langkah pemerintah justru memperlihatkan sikap permisif terhadap pelanggaran masa lalu.
Selain itu, pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, berpendapat bahwa Soeharto tidak memenuhi kriteria moral dan etis untuk memperoleh gelar tersebut sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
“Gelar pahlawan harus diberikan kepada tokoh yang secara moral tak tercela. Jika diberikan pada figur dengan catatan pelanggaran HAM berat, nilai penghargaan itu akan turun,” ujarnya dikutip dari UMSurabaya.ac.id (23/10/2025).
Pandangan Publik Masih Terbelah
Sebagian masyarakat masih memandang bahwa Soeharto layak dikenang atas keberhasilannya membawa Indonesia menuju swasembada pangan dan pertumbuhan ekonomi stabil. Media Bisnis.com (22/10/2025) melaporkan bahwa banyak tokoh masyarakat menilai kontribusi Soeharto terhadap pembangunan nasional tidak bisa diabaikan.
Namun demikian, perdebatan publik ini menunjukkan dua kutub pandangan yang berseberangan — antara apresiasi atas jasa pembangunan dan kritik atas pelanggaran HAM masa lalu.
Menurut laporan Tempo.co, perbedaan pandangan itu mencerminkan kompleksitas sejarah Orde Baru yang hingga kini masih menjadi luka kolektif bangsa.
Kementerian Sosial hingga kini belum mengumumkan keputusan final. Keputusan tersebut nantinya akan menjadi tolok ukur keseimbangan antara penghormatan terhadap jasa masa lalu dan komitmen terhadap nilai-nilai keadilan serta HAM.
