Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) mengambil langkah tegas dalam menangani kasus kekerasan seksual yang melibatkan Guru Besar Fakultas Farmasi, Prof. Dr. Edy Meiyanto. Setelah sebelumnya menjatuhkan sanksi pemberhentian sebagai dosen pada Januari 2025, UGM kini membentuk tim pemeriksa khusus untuk memproses pelanggaran disiplin kepegawaian Edy sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Langkah ini merupakan bentuk komitmen UGM terhadap penegakan kode etik dan disiplin sivitas akademika, terutama dalam kasus yang menyangkut kekerasan seksual. Tim pemeriksa terdiri dari unsur atasan langsung, bidang Sumber Daya Manusia, serta bidang pengawasan internal universitas.
Andi Sandi Antonius, Sekretaris Universitas UGM, menjelaskan bahwa proses ini berbeda dari pemeriksaan yang dilakukan sebelumnya oleh Komite Pemeriksa Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM. “Pemeriksaan kali ini secara khusus ditujukan untuk pelanggaran disiplin kepegawaian. Status dosen sudah diputuskan rektor, tapi status PNS dan guru besar adalah kewenangan pemerintah,” kata Andi, Selasa (8/4) di Balairung UGM.
Sanksi pemberhentian Edy dari jabatan dosen didasarkan pada hasil pemeriksaan dan bukti-bukti yang dikumpulkan oleh Komite Pemeriksa Satgas PPKS UGM. Edy terbukti melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf l dan m dalam Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, serta melanggar kode etik dosen.
Tak hanya dicopot dari jabatan dosen, Edy juga diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi dan Kepala Laboratorium Biokimia di Sekolah Pascasarjana Bioteknologi. Ia juga tidak lagi diperkenankan menjalankan kegiatan tridharma perguruan tinggi.
Menurut Andi, kampus telah menyurati Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) sejak Januari 2025 untuk meminta arahan terkait status PNS Edy. Namun pada Maret 2025, kementerian mendelegasikan pemeriksaan disiplin kepada UGM. “Setelah pemeriksaan selesai, hasilnya akan kami serahkan ke rektor untuk diteruskan ke menteri,” tegasnya.
Kasus ini mencuat setelah pimpinan Fakultas Farmasi melaporkan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Edy pada awal 2024. Satgas PPKS UGM memeriksa total 13 orang saksi dan korban yang berkaitan dengan peristiwa tersebut, yang sebagian besar terjadi di luar lingkungan kampus sepanjang 2023–2024.
UGM dalam hal ini menunjukkan profesionalisme dan ketegasan dalam menangani pelanggaran berat di lingkungan akademik. Meski belum ada pernyataan resmi dari pihak Edy Meiyanto, kampus memastikan proses hukum dan etik terus berlanjut hingga ke tingkat kementerian.
Upaya UGM ini menjadi contoh penting bagi institusi pendidikan lain dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Transparansi, akuntabilitas, dan penegakan disiplin menjadi pilar utama yang dijalankan oleh kampus tertua di Indonesia ini.