Guru Besar Unhan Cabut Gugatan UU TNI di MK, Sebut Sudah Kehilangan Objek

Jakarta – Guru Besar Filsafat Universitas Pertahanan RI sekaligus Kolonel Sus TNI aktif, Prof. Mhd Halkis, secara resmi mencabut permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Mahkamah Konstitusi. Pencabutan tersebut diumumkan dalam sidang pengucapan ketetapan perkara Nomor: 33/PUU-XXIII/2025 yang digelar pada Rabu (14/5) di Gedung MK, Jakarta.

Pencabutan permohonan ini disampaikan oleh pihak pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada 25 April lalu, dengan alasan bahwa objek pengujian telah kehilangan relevansinya setelah disahkannya Revisi UU TNI Nomor 3 Tahun 2025.

Prof. Mhd Halkis, melalui pernyataan tertulis yang dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa uji materi yang diajukan sebelumnya sudah tidak memiliki dasar hukum untuk dilanjutkan. “Setelah disahkannya revisi, ketentuan yang menjadi dasar pengujian telah berubah. Oleh karena itu, permohonan ini kami cabut,” ujar Halkis.

Sebagai seorang akademisi dan prajurit aktif, Halkis menyampaikan sejumlah kritik substansial terhadap UU TNI. Dalam pengajuan uji materi sebelumnya, ia menggugat beberapa pasal kunci dalam UU TNI, yaitu Pasal 2 huruf d, Pasal 39 ayat (2), (3), (4), dan Pasal 47 ayat (2). Ia mempertanyakan definisi ‘tentara profesional’ yang dinilai tidak tepat karena menggunakan pendekatan negatif—hanya menjelaskan apa yang tidak boleh dilakukan oleh prajurit.

Halkis menilai, definisi profesionalisme militer seharusnya memuat penjabaran positif mengenai peran prajurit sebagai abdi negara yang netral, kompeten, dan memiliki hak yang setara dalam bidang ekonomi serta akses jabatan publik. “Tanpa definisi yang konstruktif, pemahaman terhadap profesionalisme militer akan selalu sempit dan tidak kontekstual,” jelasnya.

Selain itu, Halkis menyoroti ketentuan Pasal 39 ayat (3) yang melarang prajurit untuk berbisnis. Ia menyebutkan bahwa larangan tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ia membandingkan dengan praktik di negara lain seperti Amerika Serikat dan Jerman, di mana prajurit boleh berwirausaha dengan sistem pengawasan ketat.

Baca juga :  Ribuan Aparat Gabungan Kawal Demonstrasi Tolak UU TNI di DPR

“Jika negara melarang prajurit berbisnis, maka negara wajib menjamin kesejahteraan ekonomi mereka, termasuk saat pensiun,” tegas Halkis.

Ia juga menggugat Pasal 47 ayat (2) UU TNI yang membatasi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil hanya pada tujuh instansi tertentu. Menurutnya, pembatasan tersebut tidak sejalan dengan prinsip meritokrasi dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kesetaraan warga negara dalam pemerintahan.

Meski permohonan telah dicabut, kritik yang disampaikan Halkis tetap menjadi sorotan dalam diskursus publik tentang profesionalisme militer dan hak-hak prajurit. Sejumlah pakar hukum tata negara menilai bahwa isu ini relevan untuk dievaluasi lebih lanjut dalam konteks reformasi sektor pertahanan yang lebih akuntabel dan demokratis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *