RI Alami Deflasi 0,76 Persen pada Januari 2025 Akibat Diskon Listrik 50 Persen

Jakarta, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,76 persen secara bulanan (month to month/mtm) pada Januari 2025. Sementara itu, secara tahunan (year on year/yoy), tercatat inflasi sebesar 0,76 persen.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan bahwa deflasi ini merupakan yang pertama setelah terakhir kali terjadi pada September 2024. Penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,80 pada Desember 2024 menjadi 105,99 pada Januari 2025 menjadi indikator utama dalam perhitungan ini.

Kelompok Penyumbang Deflasi

Berdasarkan data BPS, kelompok pengeluaran yang memberikan andil terbesar terhadap deflasi adalah kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga. Kelompok ini mengalami deflasi sebesar 9,16 persen dan memberikan kontribusi sebesar 1,44 persen terhadap total deflasi nasional.

Penurunan tarif listrik menjadi faktor dominan dalam kelompok ini, dengan andil sebesar 1,47 persen terhadap deflasi Januari 2025. Program diskon tarif listrik 50 persen yang diterapkan pemerintah menjadi pemicu utama turunnya harga di sektor ini. Selain itu, beberapa komoditas lain juga berkontribusi terhadap deflasi, seperti tomat yang memberikan andil deflasi sebesar 0,03 persen, serta ketimun, tarif kereta api, dan tarif angkutan udara masing-masing sebesar 0,01 persen.

Sebaran Deflasi di Berbagai Provinsi

Secara geografis, sebanyak 34 dari 38 provinsi di Indonesia mengalami deflasi pada Januari 2025. Papua Barat menjadi provinsi dengan deflasi terdalam, mencapai 2,29 persen. Sementara itu, empat provinsi lainnya mengalami inflasi, dengan Kepulauan Riau mencatatkan inflasi tertinggi sebesar 0,43 persen.

Pola deflasi ini menunjukkan adanya perbedaan karakteristik ekonomi di berbagai wilayah Indonesia. Faktor utama yang mempengaruhi perbedaan tersebut mencakup kondisi pasar lokal, kebijakan harga dari pemerintah daerah, serta daya beli masyarakat setempat.

Baca juga :  Prabowo Butuh Investasi Rp11 Ribu Triliun Agar Ekonomi Negara Tumbuh 8 Persen

Dampak dan Proyeksi Ekonomi

Deflasi yang terjadi pada awal tahun ini dapat membawa dampak positif maupun negatif bagi perekonomian nasional. Di satu sisi, turunnya harga barang dan jasa dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Namun, jika deflasi berlangsung dalam jangka panjang, dapat menimbulkan risiko perlambatan ekonomi akibat menurunnya tingkat konsumsi dan investasi.

Pemerintah diharapkan terus memantau perkembangan ini serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas harga. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melalui kebijakan fiskal dan moneter yang tepat guna, sehingga dapat menjaga keseimbangan antara inflasi dan deflasi.

Deflasi 0,76 persen yang terjadi pada Januari 2025 terutama disebabkan oleh kebijakan diskon tarif listrik 50 persen yang diterapkan pemerintah. Selain itu, beberapa komoditas lain seperti tomat, ketimun, serta tarif transportasi juga turut menyumbang penurunan harga.

Sebanyak 34 provinsi mengalami deflasi dengan Papua Barat sebagai daerah dengan deflasi terdalam. Sebaliknya, empat provinsi mencatat inflasi, dengan Kepulauan Riau sebagai daerah dengan inflasi tertinggi.

Meskipun deflasi dapat memberikan manfaat berupa peningkatan daya beli masyarakat, pemerintah perlu mewaspadai dampak jangka panjangnya agar tidak menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan yang seimbang diperlukan untuk menjaga stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *